Belajarlah Bersyukur, Wahai Anak Muda
Alkisah seorang anak muda yang sedang bersedih hati, tengah
duduk- duduk di sebuah taman. Dia menempati sebuah bangku yang hanya ada satu
bapak tua saja disebelahnya. Anak muda tersebut kemudian mengajak si pak tua bercakap-
cakap sambil melepas lelah dan menghangatkan suasana.
Dia kemudian menceritakan tentang begitu banyak penderitaan
serta kekurangan dalam hidupnya. Sesekali dia menangis sambil menyeka air
matanya. Sungguh sangatlah berat beban di hatinya.
Setelah beberapa saat mereka menghabiskan waktu bersama,
anak muda tersebut berkata kepada bapak tua, ” Kau lebih tua dari pada aku,
maka berilah aku ilmu tentang pengalaman hidupmu”. Si bapak tua hanya
tersenyum, lalu dia berkata,
“anak muda, bagaimana pendapatmu, kalau ada seseorang yang
kaya, yang bersedia membeli matamu itu dengan harga berapapun yang kau mau? apa
kau bersedia? ”
” Tidak, aku tidak akan mau, walau berapapun dia membayarku.
Bukankah kesehatan itu jauh lebih berharga, pak tua?” Jawabnya tersebut
bersemangat.
” Lalu bagaimana kalau dia mengganti pilihannya dengan
membeli kedua kakimu? mungkin dengan harga yang lebih mahal lagi misalnya”
Lanjut pak tua tersebut.
” Apa gunanya semua uang itu pak tua, kalau aku tidak bisa
menikmati dunia ini karena aku pincang?. Aku tidak mau”
” Kalau tanganmu saja?”
“Tidak mau!” jawab si anak muda singkat.
“Baiklah, kalau begitu bagaimana kalau dia membeli hatimu
saja?” tanya pak tua sambil tersenyum.
” Pak tua, ada apa denganmu? aku meminta nasehatmu, malah
kau menyarankan menjual organ tubuhku. Aku pasti tidak akan mau. Walaupun
mereka membelinya dengan harga milyaran sekalipun.” jawab anak muda tadi dengan
sedikit marah.
Si bapak tua tertawa, serta geleng- geleng kepala melihat
anak muda yang duduk di sebelahnya .
” Hay anak muda, jika kau sudah beroleh nikmat seharga
milyaran dari Allah, lalu atas tujuan apa lagi kau masih mengeluh? dimana rasa
malumu pada Tuhanmu?. Kau masih muda, kau masih mampu melakukan segalanya, kau
kuat. Ingatlah, satu hal yang merenggut kesenangan dan kedamaian hidupmu,
adalah keluhanmu dan rasa tidak bersyukurmu itu”.
“Lalu…?” tanya anak muda tersebut dengan masih terbengong.
” Kesenangan itu tidak hanya sebatas harta dan materi
semata. Sadarilah, bahwa keimanan, kesehatan, keluarga, kepandaian, ataupun
teman yang baik, dan sebagainya adalah nikmat yang tidak terhingga. Allah
memberi semua itu, bahkan saat kita tidak meminta sekalipun. Bukankan Allah itu
sangat baik?. Maka syukurilah semua itu. Dan jangan hanya mengeluh”.
Mendengar semua wejangan dari si bapak tua tersebut, si anak
muda hanya terbengong tanpa bisa berkata apa- apa. Dan belumlah selesai semua
itu, sang bapak tua kemudian meninggalkan tempatnya duduk.
Beliau berjalan dengan menggunakan tongkat karena ternyata
beliau buta, dan hanya memiliki sebelah kaki saja. Saat mencoba berdiri, wajah
beliaupun terlihat lebih pucat. Anak muda tersebut terperangah melihat
keadaannya. Dan sebelum bapak tua itu benar- benar pergi, si anak muda
bertanya,
” Kau tampak pucat, apa kau sakit?”
” Sudah 2 tahun ini, bapak sakit liver. Dan sudah sebulan
lebih, setiap pagi bapak menghabiskan waktu disini, untuk sekedar menghibur
diri. Dan kau tahu anak muda, walaupun keadaan bapak seperti ini, tapi bapak
tidak mau marah pada Allah, malah sebaliknya bapak ingin selalu belajar
bersyukur, bahwa sampai saat ini bapak masih diberi nafas, paling tidak untuk
bisa tertawa ketika bersamamu tadi.” Jawab pak tua dengan senyum.
Dan Beliaupun akhirnya meninggalkan si anak muda yang masih
tetap terpaku dengan seribu satu pikiran yang ada di kepalanya.
Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu
pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah.
Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti
orang yang tak bahagia. Tanpa Membuang waktu, orang itu menceritakan semua
masalahnya.
Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia
lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas
air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba,
minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar Pak tua itu.
“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu.
“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu.
“Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah”. Saat tamu
itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, Bagaimana rasanya?”.
“Segar.”, sahut tamunya.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak Tua lagi.
“Tidak”, jawab si anak muda. Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk
punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.
“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama”.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung ! pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu”. Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat.
“Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan”.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak Tua lagi.
“Tidak”, jawab si anak muda. Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk
punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.
“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama”.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung ! pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu”. Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat.
“Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar